Thursday, February 10, 2011

Tour Warteg Minggu ke 2 Februari 2011

Senin, 7 Februari 2011
Warteg Dewi 
Jl. Kemang Raya, di sebelah L'atelier du Chocolat


Dewi warteg yang bersih dan rapih. Bentuknya seperti warung nasi dengan papan-papan kayu warna Ijo telor asin yang juga berfungsi sebagai pintu, jendela dan dinding. Melewati Kemang Raya ke arah Ampera, posisinya di sebelah kanan jalan, dengan tulisan besar di temboknya: Warteg Dewi.
Macam makanannya tak terlalu banyak tapi juga tidak sedikit. Malam itu kami makan bertiga, lauk pilihan saya sayur capcay, telor balado, dan kerupuk udang. Rasanya tidk istimewa. Teman saya memesan soto ayam dengan kuah santan, bumbunya lebih enak dari makanan saya. Lain kali saya akan memesannya. Bertiga kami membayar 26 ribu termasuk minuman, artinya seorang menghabiskan hampir 9 ribu perak. 
Pelayan di Warteg Dewi perempuan-perempuan muda dan ramah, usianya mungki 19-an sampai 23 tahun. Dewi itu dimabil dari nama anak pemilik warteg.
'Yang jaga cewe semua, nggak takut digangguin sama tamu Mbak?'
'Nggak. Ngggak pernah ada yang ganggu'
Entah benar atau tidak, kalau benar mungkin karena lokasi warteg  berada disekitar area ritel dan perkantoran sehingga pelanggannya lebih terpilih. Ini juga terlihat dari tamu-tamu yang datang, ada pasangan, ada mas-mas bertato (tato golongan pekerja kreatif bukan bromocorah), ada kami bertiga yang paling usil dan banyak maunya tapi tetap sopan dan menyenangkan.


Selasa, 8 Februari 2011
Warung Nasi Rizky
Jl. Kemang Raya, di seberang Kedai Kopi Kemang


Namanya bukan warteg tapi warung nasi, meskipun tidak memiliki bangunan permanen seperti warteg Dewi. Saya nggak paham mana yang harusnya lebih 'besar' dan establish; warteg atau warung nasi, mungkin nggak terlalu penting tapi saya penasaran hal apa dibalik alasan si pemilik memberikan 'titel' untuk tempat jualan mereka. Lokasinya tak jauh dari warteg Dewi dan berada di sisi jalan yang sama. Kalau saya berjalan dari Warteg Dewi ke arah Ampera, 200 meter setelahnya saya sampai di Warung Nasi Rizky.
Kami makan bertiga lagi malam ini, waktu kami tiba hanya ada 2 atau 3 orang yang sudah hampir selesai makan. Saya sering melewati tempat ini dan selalu ngiler melihat sajian makanan yang banyak dan beragam dibalik etalase kacanya. Dua orang teman saya sudah makan disini seminggu lalu, mereka semangat untuk kembali karena variasi menu yang banyak dan pasti karena enak.
Lauk pilihan saya hati ayam, kerang, oseng kacang panjang. Rasanya memang lebih enak dari yang kemarin, lebih mantep, lebih warteg.
Di dinding pagar beton yang jadi latarnya, ditempel banner bertulisan Warung Nasi Rizky bergambar dua orang anak lelaki, yang besar pasti si Rizky.
'Rizky nama anak yang punya ya, Mbak?
'Iya, itu dia yang di foto'
Seperti di Dewi pekerjanya perempuan semua dan lebih banyak jumlahnya.
Tak lama setelah kami mulai makan, pelanggan lain berdatangan. 5 atau 6 orang mahasiswa, dan lima orang lain semuanya laki-laki, bahkan satu diantaranya saya kenal, office boy di tempat saya bekerja dulu. Selain kami hanya ada seorang perempuan yang sudah ada sejak kami tiba. Kelihatannya langganan yang tinggal atau kerja dekat Rizky  karena datang hanya membawa dompet dan blackberry, dan duduk tenang karena mengenal medan dengan baik. Beda sekali dengan kami dengan gembolan yang memenuhi meja dan grusak-grusuk sejak mulai duduk sampai meninggalkan tempat 







Monday, February 25, 2008

Invasion of Korean Aliens

Driving in South Jakarta, around Senopati, Cikajang and the neigborhood you will notice the many small establishements with foreign alphabets on their announcent board. These establishment mostly with it's unusual exterior design are like aliens who feel at home crammed amongst beauty salon, restaurant or retail spaces. Did anyone notice that most of this places have no Indonesian nor English -or any language that is understood by locas- or explanation of anykind about they're existense. Ofcourse some would be familiar with the Korean alphabet, but still what are this places? Offices, health service, karaoke bar? It's amazing to have the confident of being in one foreign place and not communicating to it's local, when you actually depends on it. It's a humorous in it's forgiven unpoliteness.

This came to my attention about a year ago when they start mushrooming, and they have probably been there for abot 2 years, some maybe more. It would make more sense if these place are some cult headquarters, some sadomasochist club, or other dodgy places, but to be expected they turn out to be good restaurants, beauty salon, and florist just like other familiar establishment surrounding it. It's again a weird confident to be adapted to one's business approach. I still hold on to the principal that it help your business to let people informed about it. How hard it is to put a few words local words like: Restoran Korea, Bee Bim Bab, Bulkalbi, Bulgogi.

I have since, venture to this places, eat there or just look more closely to satisfy my curiousity. Yet, I still hope to be surprised that one day I looked up at their announcement board and found some Indonesian or English explanation. Maybe they don't need it because enough Korean clients in Jakarta are sustaining their business, or they apply reverse psychological approach towards business. I don't know, I still look forward to the answer.